1 Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip) Masalah ini jelas termasuk kategori tafarruq atau iftiraq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir. Maka pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf, melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut dan istilahkan dengan fiqhul iftiraq (fiqih
Read3. Keterkaitan Aqidah dan Syariah from the story Ù
ŰźŰȘ۔۱ ÙÙ
Ű§ŰŻŰ©Ű ŰčÙÙ
ۧ۔ÙÙ Ű§ÙÙÙÙ | Ringkasan Pembahasan Ilmu Ushul Fiqih by Dani_Inspirasi (Murdani Bin Abdu
Assalamualaikum, dalam kaidah usul fiqh ada yang berbunyi : Alhukmu yaduru maâal illati Wujudan wa âadaman, âHukum itu berputar pada ada tidaknya illatâ benar kah itu ?. JAWABAN : Waalaikum salam warahmatullah. Sebetulnya pertanyaan ini terlalu luas cakupannya, butuh berlembar-lembar tulisan untuk menghasilkan jawaban yang memadai.
alAsyâari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu. Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanya pada sebagian masalah-masalah furuâ (cabang) aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya saling menghujat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya lepas
Secaragamblang Hasan al-Banna mengatakan untuk bertaklid dalam masalah-masalah furu'iyah, jika belum mencapai kemampuan untuk menelaah dalil-dalil furu'. jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih." - pasal 1 Ushul 'Isyrin - Terlihat nampak jelas oleh
Hanyasaja, bidang kajian mereka berbeda-beda. Para ulamaâ tersebut di atas berbeda dalam hal masalah furuâiyah dan semuanya mempunyai pandangan satu dalam bidang ushul (akidah) â sebab mereka beriltizam (komitmen) terhadap al-Qurâan, Hadis, Ijma dan Qiyas. Karena ini adalah prinsip yang terpelihara.
Karenanya dalam Aqidah dan Syariat mau pun Akhlaq ada masalah Ushul yang tidak boleh berbeda dan ada juga masalah Furuâ yang boleh berbeda. Itulah sebabnya, ada istilah-istilah : Ushul Aqidah dan Furu Aqidah, Ushul Syariat dan Furuâ Syariat, Ushul Akhlaq dan Furu Akhlaq. Para Ulama Salaf mau pun Khalaf, tidak pernah berbeda pendapat dalam
Sertatanpa Akhlaq, maka Aqidah takkan kuat dan Syariah takkan terlaksana. ISLAM ADALAH AQIDAH. Islam bukan filsafat mau pun ideologi, tapi Islam adalah Aqidah yang bersumber dari Wahyu Suci Ilahi. Aqidah lebih tinggi daripada Filsafat mau pun Ideologi, karena : 1. Aqidah produk ilahi, sedang Filsafat dan Ideologi adalah produk insani.
ecLj. DI DALAM masalah fiqh, terdapat ushul pokok dan furuâ cabang. Demikian pula di dalam masalah aqidah, terdapat ushul dan furuâ. Walaupun tidak ada di zaman nabi masuk perkara baru, pembagian seperti ini diperbolehkan. Karena pada hakikatnya tidak bertentangan dengan dalil-dalil syariâat. Pembagian ini berfungsi untuk memudahkan memeta atau mengklasifikasikan permasalahan-permasalahan agama. Ini merupakan pendapat jumhur ulamaâ mayoritas ulamaâ dari masa ke masa sampai zaman kita sekarang ini. Dalam masalah fiqh, contohnya shalat fardhu yang lima. Hukum wajibnya shalat lima waktu, termasuk perkara ushul. Karena termasuk rukun Islam kedua setelah syahadat. Namun, masalah qunut Shubuh, dikeraskan tidaknya bacaan âbasmalahâ dalam shalat jarhiyyah, boleh tidaknya melafadzkan niat, lutut atau kaki dulu yang menyentuh lantai ketika turun sujud, duduk rekaat terakhir tawwaruk atau ifirasy, dan yang lainnya, termasuk perkara furuâ. Oleh karena itu, para ulamaâ berbeda pendapat dalam masalah-masalah ini. BACA JUGA Beribadahlah dengan Sungguh-sungguh kepada Allah Dalam masalah aqidah, contohnya adalah keimanan kepada Allah. Iman kepada Allah termasuk masalah ushul. Karena termasuk rukun iman yang pertama. Namun masalah berapa jumlah asmaul husna nama-nama Allah yang baik, maka termasuk perkara furuâ. Oleh karena itu para ulamaâ berbeda pendapat. Ada yang menyatakan terbatas 99 nama, dan ada yang menyatakan tidak terbatas. Beriman kepada adanya adzab qubur, termasuk masalah ushul agama. Akan tetapi masalah apakah yang diadzab ruh dan jasad, atau ruh saja, maka ini termasuk masalah furuâ. Oleh karena itu, para ulamaâ berbeda pendapat dalam masalah ini. Apa faidah mengklasifikasikan masalah agama menjadi ushul dan furuâ? Untuk memudahkan menjelaskan hukum-hukum dan konsekwensinya. Seorang yang keliru di dalam masalah ushul, berbeda dengan seorang yang keliru dalam masalah furuâ. Cara menyikapi perbedaan dalam masalah uhsul, berbeda dengan cara menyikapi perbedaan dalam masalah furuâ. Seorang yang mengingkari wajibnya shalat lima waktu secara sadar, tahu, dan sengaja, dia telah keliru dalam masalah ushul. Ini akan berkonsekwensi hukum-hukum besar kepadanya. Seperti penetapan hukum kafir, sesat, hukum istitab permintaan untuk taubat jika tidak mau maka dibunuh, tidak bisa mewarisi dan mewarisakan harta, dan yang lainnya. Dalam hal ini, maka kita wajib berbeda dan tidak ada toleransi di dalamnya. Dan hak-hak sesama muslim tidak berlaku lagi di sini. Namun lain halnya dalam masalah qunut shubuh. Seorang yang berbeda dalam masalah ini, baik yang berpendapat disyariatkannya atau tidak, maka mereka tetap di dalam lingkup sebagai seorang muslim dan masih berstatus sebagai ahlus sunnah wal jamaâah. Karena hal ini termasuk masalah furuâ. Harus tetap saling mencintai, menghormati, menghargai, tidak boleh menjadi sebab perpecahan, tidak boleh memaksakan dan berbagai hak-hak persaudaraan sesama muslim tetap kita tunaikan. Jika seorang menyikapi perbedaan pendapat di dalam masalah furuâ seperti menyikapi perbedaan dalam masalah ushul, maka ini sebuah kekeliruan yang sangat fatal. Inilah pentingnya kita memahami pembagian seperti ini, untuk meminimalisir berbagai kesalahan dalam memahami hukum dan konsekwensinya. BACA JUGA Tiga Orang yang Tidak Diterima Ibadahnya Sebagian pihak ada yang menolak pembagian ushul dan furuâ secara mutlak. Ini pendapat yang tidak muâtabar tidak diperhitungkan. Selain menyelisihi pendapat mayoritas ulamaâ, pada hakikatnya âsecara tidak sadar- pendapat ini telah menolak fakta adanya hal ini ushul dan furuâ dalam agama. Sebagiannya ada yang bersandar kepada pernyataan-pernyataan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam menolak klasifikasi ini. Padahal, yang ditolak oleh beliau, bukanlah penolakan secara mutlak. Akan tetapi, dalam masalah definisi batasan-batasanya dan konsekwensi darinya yang tidak sejalan dengan syariâat. Wallahu aâlam bish shawab. Demikian coretan kali ini. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan kita sekalian. [] Referensi -Masailu Ushulid Din Al-Mabhutsah fil Ushulil Fiqh â Dr. Khalid Abdul Lathif-Hushulul Maâmul â Dr. Abdullah bin Abdurrahman Al Amir-Ushul wal Furuâ â Dr. Saâad Asy-Syatsri Facebook Abdullah Al Jirani
Assalaamu 'Alaikum Wa Rohmatullaahi Wa Barokaatuh ... Bismillaah Wal Hamdulillaah ... Wash-sholaatu Was-salaamu 'Alaa Rasuulillaah ... Wa 'Alaa Aalihi Wa Shohbihi Wa Man Waalaah ... Salah satu penyebab Takfir antara kaum muslimin dari aneka ragam Madzhab dan Firqoh adalah ketidak-mampuan kebanyakan awam umat Islam dalam membedakan antara Ushuluddin dan Furuâuddin. Ushuluddin adalah pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang sangat prinsip dan amat mendasar serta fundamental, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq, karena berdiri di atas dalil qothâi yang mutlak benar, yaitu yang keyakinan kebenarannya mencapai tingkat kepastian, sehingga tidak diperkenankan adanya perbedaan. Setiap perbedaan dalam Ushul merupakan Inhiraf yaitu penyimpangan yang wajib diluruskan. Sedang Furuâuddin adalah cabang-cabang / ranting-ranting ajaran agama Islam yang sangat penting tapi tidak prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq, karena berdiri di atas dalil zhonni yang tidak mutlak benar, yaitu yang keyakinan kebenarannya tidak mencapai tingkat kepastian, sehingga diperkenankan adanya perbedaan selama ada dalil syarâi yang muâtabar. Setiap perbedaan dalam Furuâ merupakan Ikhtilaf yaitu khilafiyah yang wajib dihargai. Baik Ushuluddin mau pun Furuâuddin sama-sama harus berdiri di atas Dalil Syarâi, Jika tidak ada Dalil Syarâi, maka menjadi Penyimpangan, baik dalam Ushul mau pun Furuâ. Karenanya, peranan Dalil Syarâi dalam Ushul dan Furuâ sangat penting dan amat menentukan. PERAN USHUL DAN FURUâ Karenanya, memahami Ushuluddin dan Furuâuddin merupakan kunci untuk mengetahui mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip dalam ajaran Islam, guna memudahkan pemilahan antara perbedaan dan penyimpangan agama, sehingga menjadi dasar penyikapan yang benar untuk toleransi menghargai terhadap perbedaan atau tegas meluruskan terhadap penyimpangan. Problemnya, banyak kalangan awam umat Islam tidak mampu membedakan antara Ushul dan Furuâ. Ada kelompok yang melihat Ushul sebagai Furuâ, sehingga mereka toleransi terhadap Penyimpangan Ushul karena dianggap sebagai Perbedaan Furuâ. Contoh kasusnya adalah kelompok Islam yang sangat toleran dan bersahabat terhadap aliran Ahmadiyah yang telah nyata melakukan Penyimpangan Ushul, karena dianggap hanya Perbedaan Furuâ, sehingga yang seharusnya mereka bersikap tegas meluruskan terhadap penyimpangan, justru mereka jadi bersikap toleransi menghargai terhadap penyimpangan tersebut karena dianggap perbedaan. Sebaliknya, ada lagi kelompok yang melihat Furuâ sebagai Ushul, sehingga mereka tidak toleransi terhadap Perbedaan Furuâ karena dianggap sebagai Penyimpangan Ushul. Contoh kasusnya adalah kelompok Islam yang mudah menyesatkan bahkan mengkafirkan saudara muslim lainnya hanya lantaran Perbedaan Furuâ, baik dalam soal Furuâ Aqidah seperti masalah Tawassul dan Tabarruk, mau pun dalam soal Furuâ Syariah seperti Qunut Shubuh dan Peringatan Maulid Nabi SAW, karena dianggap sebagai Penyimpangan Ushul, sehingga yang seharusnya mereka bersikap toleransi menghargai terhadap perbedaan, justru mereka jadi bersikap tegas meluruskan terhadap perbedaan tersebut karena dianggap penyimpangan. Oleh sebab itu, umat Islam wajib berkemampuan untuk melakukan pemilahan antara Ushul dan Furuâ, agar mampu membedakan antara perbedaan dan penyimpangan, sehingga menjadi lurus dan benar dalam bersikap. Pemilahan Masalah ke dalam Ushul atau Furuâ bergantung kepada Nilai Hujjah yaitu kekuatan dalil. Ada pun Nilai Hujjah suatu Dalil bergantung kepada jenis dalil baik dari segi Wurud mau pun Dilalah. NILAI HUJJAH Dari segi Wurud yaitu bagaimana datangnya suatu Dalil Syarâi kepada kita terbagi menjadi Dua Nilai Hujjah 1. Setiap dalil yang bersifat Mutawatir, yaitu Al-Qurâan dan Hadits Mutawatir, maka nilai hujjahnya adalah Qothâi secara Wurud. 2. Setiap dalil yang bersifat Ahad, yaitu semua hadits Ahad, maka nilai hujjahnya adalah Zhonni secara Wurud. Dan dari segi Dilalah yaitu bagaimana suatu dalil menunjukkan kepada suatu hukum, maka nilai hujjahnya juga terbagi Dua Nilai Hujjah 1. Setiap dalil yang Mono Tafsir atau Mono Taâwil, yaitu yang hanya mengandung satu makna, maka nilai hujjahnya Qothâi secara Dilalah. 2. Setiap dalil yang Multi Tafsir, yaitu yang mengandung lebih dari satu makna, maka nilai hujjahnya Zhonni secara Dilalah. METODOLOGI PEMILAHAN USHUL DAN FURU Selanjutnya, Metodologi Pemilahan masalah kepada Ushul dan Furuâ secara singkat adalah sebagai berikut 1. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Qothâi, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Ushuluddin. Contoh Firman Allah dalam ayat 1 tentang Keesaan Allah SWT merupakan Dalil Qothâi secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qurâan, dan Qothâi juga secara Dilalah karena Mono Tafsir, maka hal ini merupakan masalah Ushuluddin. Karenanya, dalam hal Keesaan Allah SWT tidak boleh ada perbedaan pendapat antara Madzhab Islam. Barangsiapa menolak Keesaan Allah SWT, maka ia menyimpang dan tersesat bahkan kafir dan keluar dari Islam, karena Ushuluddin merupakan Ushul Islam. 2. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Zhonni, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Furuâuddin. Contoh Hadits Nabi SAW dalam Sunan Abi Daud hadits dan Sunan An-Nasaa-i hadits ke tentang perintah / anjuran membaca Surat Yaasiin atas âMautaaâ merupakan Dalil Zhonni secara Wurud karena berupa Hadits Ahad, dan Zhonni juga secara Dilalah karena Multi Taâwil, dimana kata âMautaaâ bisa berarti orang yang sedang sekarat, dan bisa juga bermakna orang yang sudah meninggal dunia, maka hal ini merupakan masalah Furuâuddin. Karenanya, umat Islam berbeda pendapat dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa Surat Yasin dibaca atas orang yang sekarat bukan yang sudah meninggal dunia, tapi ada juga yang berpendapat sebaliknya bahwa Surat Yasin dibaca atas orang yang sudah meninggal dunia bukan yang sedang sekarat, lalu ada juga yang membolehkan keduanya. 3. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Qothâi dari segi Wurud, namun bernilai Zhonni dari segi Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Furuâuddin. Contoh Firman Allah dalam 43 dan 6 tentang salah satu yang membatalkan wudhu adalah âLaamastumun Nisaaâ merupakan Dalil Qothâi secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qurâan, namun Zhonni secara Dilalah karena Multi Tafsir, dimana ada yang menafsirkannya âmenyentuh perempuanâ dengan sentuhan biasa, yaitu kulit bertemu dengan kulit, dan ada pula yang menafsirkannya âmenggauli perempuanâ, maka hal ini merupakan masalah Furuâuddin. Karenanya, Ulama berbeda pendapat dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa menyentuh perempuan yang bukan mahram membatalkan wudhu secara mutlak, tapi ada yang mensyaratkan menyentuhnya dengan sengaja, dan ada lagi yang mensyaratkan menyentuhnya dengan syahwat, lalu ada juga yang menyatakan menyentuh saja tidak membatalkan wudhu tapi menggaulinya yang membatalkan wudhu. 4. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Zhonni dari segi Wurud, namun bernilai Qothâi dari segi Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Ushul Madzhab. Contoh Hadits Nabi SAW tentang pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur merupakan Dalil Zhonni secara Wurud karena berupa Hadits Ahad, namun Dalil Qothâi secara Dilalah karena Mono Taâwil, maka hal ini merupakan masalah Ushul Madzhab. Aswaja menjadikan iman kepada adanya pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur sebagai Ushul Madzhab Aswaja, karena bagi Aswaja bahwa Hadits Ahad selama Shahih maka wajib dijadikan dalil dalam Aqidah mau pun Hukum. Sedang Muâtazilah menolaknya, karena bagi Muâtazialh bahwa masalah Aqidah tidak boleh menggunakan Hadits Ahad karena nilainya Zhonni, sehingga Muâtazilah tidak percaya adanya pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur. Disini, Muâtazilah tidak boleh divonis Kafir lantaran persoalan ini, tapi cukup dikatakan bahwa Muâtazilah bukan Aswaja. USHUL FURUâ DALAM AQIDAH, SYARIAH DAN AKHLAQ Ushuluddin sering diidentikkan dengan Aqidah, karena kebanyakan masalah Ushul adalah masalah Aqidah. Sedang Furuâuddin sering didentikkan dengan Syariat, karena kebanyakan masalah Furuâ adalah masalah Syariat. Namun sebenarnya, dalam Ushuluddin ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq. Begitu juga dalam Furuâuddin juga ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq. Karenanya, dalam Aqidah dan Syariat mau pun Akhlaq ada masalah Ushul yang tidak boleh berbeda dan ada juga masalah Furuâ yang boleh berbeda. Itulah sebabnya, ada istilah-istilah Ushul Aqidah dan Furu Aqidah, Ushul Syariat dan Furuâ Syariat, Ushul Akhlaq dan Furu Akhlaq. Para Ulama Salaf mau pun Khalaf, tidak pernah berbeda pendapat dalam masalah Ushul, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. Namun mereka ada berbeda pendapat dalam masalah Furuâ, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. CONTOH USHUL DAN FURUâ Beberapa contoh lain tentang Ushul dan Furuâ dalam Aqidah, Syariah dan Akhlaq, antara lain a. Dalam masalah Aqidah, Iman kepada Keesaan dan Kesucian Allah SWT yang tidak ada sekutu apa pun dan tidak ada yang seperti-Nya, dan Dia SWT tidak butuh kepada Alam Semesta ciptaan-Nya, termasuk Dzat-Nya tidak butuh kepada ruang, sudut dan waktu, merupakan masalah Ushul Aqidah. Sedang soal kemungkinan melihat Allah SWT bagi orang-orang beriman di Hari Akhir nanti, apakah dengan mata kepala sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaâah atau hanya melihat dengan mata hati sebagaimana keyakinan Muâtazilah, adalah masalah Furuâ Aqidah. b. Dalam masalah Syariah, Kewajiban Shalat Lima Waktu adalah merupakan masalah Ushul Syariah. Sedang masalah Niat Shalat boleh dilafazhkan atau tidak, lalu tentang Udzur Shalat Jamaâ apakah hanya terbatas pada Hujan dan Musafir, atau mencakup juga Khauf dan Sakit, atau lebih luas dari itu, semuanya merupakan masalah Furuâ Syariah. c. Dalam masalah Akhlaq, Menyintai dan Menghormati Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya serta para Shahabatnya adalah merupakan masalah Ushul Akhlaq. Namun soal memberi gelar kehormatan di depan nama mereka sebagai tanda cinta, seperti kata âSayyidunaâ bagi yang pria dan âSayyidatunaâ bagi yang wanita, apakah boleh atau tidak atau justru lebih afdhol, adalah merupakan masalah Furuâ Akhlaq. USHUL ISLAM DAN USHUL MADZHAB Ushul Islam adalah Ushuluddin yang mutlak tidak menerima perbedaan pendapat dengan alasan apa pun. Setiap perbedaan dalam Ushul Islam secara mutlak tidak bisa dibenarkan, dan secara mutlak pula disebut sebagai Penyimpangan Inhiraf. Dan penyimpangan dalam Ushul Islam adalah Kesesatan bahkan bisa menjadi Kekafiran, sehingga tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Barangsiapa menolak atau membangkang terhadap Ushul Islam yang telah disepakati semua Madzhab Islam maka ia keluar dari Islam, karena ia telah menyimpang dari pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang sangat prinsip dan mendasar serta fundamental. Penyimpangan sekecil apa pun tetap penyimpangan. Dan sekecil apa pun penyimpangan dalam Ushul tetap merupakan kesesatan yang mesti diluruskan. Ada pun Ushul Madzhab yaitu masalah dalam ajaran agama Islam yang diyakini sebagai Ushuluddin oleh suatu Madzhab Islam, tapi ditolak oleh Madzhab Islam yang lain, bahkan terkadang Madzhab Islam yang lain berpendapat sebaliknya, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. Dengan kata lain, Ushul Madzhab ialah pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang diyakini oleh suatu Madzhab Islam, tapi tidak diyakini oleh Madzhab Islam lainnya. Ushul Madzhab ini tidak secara mutlak menolak perbedaan pendapat, sehingga perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak bisa dihindarkan. Perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak mengantarkan kepada kekafiran. Barang siapa yang melanggar Ushul Madzhab maka ia tidak boleh dikafirkan atau divonis keluar dari Islam, tapi cukup disebut tidak tergolong dalam Madzhab Islam yang meyakininya sebagai Ushul. Karenanya, Ushul Madzhab dalam kontek hukumnya menyerupai Furuâuddin, sebab adanya perbedaan pandangan antar Madzhab Islam membuatnya menjadi tidak prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental lagi. Perbedaan dalam Ushul Madzhab masuk katagori Khilafiyah, bukan penyimpangan, sehingga harus dihargai sebagai sebuah perbedaan. Namun demikian, masih banyak pihak yang menjadikan Ushul Madzhab sebagai Ushuluddin, sehingga mereka mengkafirkan siapa saja yang berbeda Ushul Madzhabnya. KONSEKWENSI DUA USHUL Pemilahan Ushul menjadi Ushul Islam dan Ushul Madzhab ini dimaksudkan untuk 1. Agar antar Madzhab Islam saling menjaga Ushul Islam dari segala bentuk penyelewengan. 2. Agar antar Madzhab Islam tidak saling menyesatkan, apalagi mengkafirkan dalam masalah Ushul Madzhab. Berikut beberapa contoh tentang konsekwensi pandangan tentang Ushul Islam dan Ushul Madzhab 1. Kemakhluqan Al-Qurâan ? Ahlus Sunnah wal Jamaâah meyakini bahwa Al-Qurâan adalah Kalamullah dan bukan makhluq, sedang Muâtazilah meyakini bahwa Al-Qurâan adalah makhluq. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Muâtazilah, dan sebaliknya Muâtazilah pun menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak kemakhluqan Al-Qurâan dipastikan bukan Muâtazilah, dan sebaliknya yang menerima kemakhluqan Al-Qurâan dipastikan bukan Ahlus Sunnah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furuâuddin. 2. Taâwil Ayat Sifat ? Ahlus Sunnah wal Jamaâah yang Salaf mau pun Khalaf, meyakini bahwa mentaâwilkan sifat-sifat Allah SWT dengan Makna Majazi dibolehkan manakala Makna Hakiki mustahil digunakan. Sedang kalangan Wahabi yang mengklaim sebagai pengikut Madzhab Salaf yang paling Aswaja, menolak taâwil sifat-sifat Allah SWT, sehingga mereka memaknainya dengan Makna Zhohiri, bahkan terkadang cenderung dengan Makna Hakiki. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Wahabi, dan sebaliknya Wahabi menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menerima Taâwil Sifat dipastikan bukan Wahabi, dan sebaliknya yang menolak Taâwil Sifat dipastikan bukan Ahlus Sunnah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furuâuddin 3. Keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin ? Ahlus Sunnah wal Jamaâah sepakat meyakini keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, radhiyallaahu âanhum. Sedang Syiâah Imamiyah tidak mengakui keabsahan Khulafa Rasyidin, melainkan meyakini keabsahan Wilayah sekaligus Khilafah Dua Belas Imam yaitu Ali Al-Murtadho, Al-Hasan, Al-Husein, As-Sajjad, Al-Baqir, Ash-Shodiq, Al-Kazhim, Ar-Ridho, Al-Jawad, Al-Hadi, Al-âAskari dan Al-Mahdi, radhiyallaahu âanhum. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Syiâah Imamiyah, dan sebaliknya Syiâah Imamiyah menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Ahlus Sunnah, dan sebaliknya yang menerima Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Syiâah Imamiyah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan hanya lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furuâuddin. KESIMPULAN Perbedaan Ushul dan Furuâ sesuai dengan definisi masing-masing beserta ruang lingkup dan berbagai contoh masalahnya sebagaimana telah dipaparkan di atas secara singkat dan ringkas, maka bisa disimpulkan sebagai berikut 1. Ushul berdasarkan dalil qothâi, sedang Furuâ berdasarkan dalil zhonni. 2. Ushul memiliki kebenaran mutlak, sedang Furuâ tidak. 3. Ushul kebenarannya mencapai kepastian, sedang Furuâ tidak. 4. Ushul harus disepakati, sedang Furuâ tidak mesti. 5. Ushul tidak menerima perbedaan, sedang Furuâ menerima. 6. Ushul tidak bisa berubah, sedang Furuâ ada yang bisa berubah. 7. Ushul sangat prinsip, mendasar dan fundamental, sedang Furuâ tidak. 8. Ushul perbedaannya disebut Inhiraf, sedang Furuâ perbedaannya disebut Ikhtilaf. 9. Ushul perbedaannya harus diluruskan, sedang Furuâ perbedaannya harus dihargai. 10. Ushul perbedaannya melahirkan Firqoh, sedang Furuâ perbedaannya melahirkan Madzhab. Dengan demikian jelas, bahwa pengetahuan tentang Ushul dan Furu menjadi sangat penting bagi umat Islam, sehingga mutlak dibutuhkan pembelajaran Metodologi Pemilahan antara Ushul dan Furu kepada kaum muslimin untuk mengetahui mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip. Untuk memenuhi kebutuhan umat tersebut, maka Alhamdulillah saya mendapat kesempatan baik untuk merampungkan Desertasi dalam bahasa Arab di University Sains Islam Malaysia USIM di Bandar Nilai â Malaysia dengan judul âManaahijut Tamyiiz bainal Ushuul wal Furuuâ inda Ahlis Sunnah wal Jamaaâahâ artinya âMetodologi Pemilahan Ushul dan Furu menurut Ahlus Sunnah wal Jamaaâahâ di bawah bimbingan Guru Besar USIM bidang Ushuluddin, yaitu Nurdin Marjuni dan Abdul Malik, Hafizhohumallaahu Taâaalaa.. Insya Allah, dalam waktu dekat akan rampung dan diujikan di USIM, untuk kemudian bisa dipublikasikan bagi kepentingan umat Islam. Alhamdulillaahi Robbil 'Aalamiin ... Sumber
APA YANG DIMAKSUD ILMU USHUL DAN FURU Para pembaca yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan apa yang dimaksud ilmu ushul dan furuâ? Selamat membaca. Pertanyaan Apakah yang dimaksud masalah furuâ dalam hakikat fiqih adalah mengenal hukum-hukum syarâi salam masalah furuâ? Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS Jawaban Bismillah. Sebagaimana yang telah banyak di berjalan dan dipergunakan oleh para ulama di dalam membagi cabang ilmu, yaitu Ushul dan Furu. Ushul masuk di dalamnya ilmu akidah dan ilmu ushul, dan menempatkan masalah-masalah ilmu fiqih sebagai ilmu furu` cabang. Mereka membagi pembagian ini berdasarkan pertimbangan, bahwa permasalahan yang ada udzur dari kesalahannya sebagai ilmu Furu dan yang tidak ada udzur dari kesalahannya disebut sebagai ilmu ushul. Keabsahan pembagian syariah menjadi ushul dan Furu` sebagaimana di atas telah ditentang dan dikritisi oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim serta para ulama yang lain. Mereka berpendapat bahwa pembagian tersebut belum pernah ada pada masa Nabi atau masa sahabat, bahkan ia dari Mu`tazilah dan semisalnya dari ahlul bid`ah, karena ilmu syariat semuanya pokok, tidak ada pokok atau cabang, semuanya penting. Dari pengingkaran terhadap permasalahan keduanya semua bisa menjadikan seseorang keluar dari agama bila mengingkarinya. Dan sebagainya dari hujjah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam. Silahkan baca sumber berikut Majmu fatawa 346 -347, 13/126, minhaj sunnah 5 48 â 95, Majmu fatawa 6/56 -57 Namun sebagian para ulama tetap berpendapat, bahwa pembagian ilmu ushul dan furu` hanya sebagai pembagi dari ilmu yang ada dari ulum syar`i tanpa menghilangkan identitas dan konsekuensi dari keduanya. Sehingga pembagian ilmu syar`i dengan ilmu ushul dan ilmu furu` diperbolehkan secara istilah. Wallahu a`lam. Dijawab dengan ringkas oleh Ustadz Muâtashim, Lc. MA. ŰÙŰžÙ Ű§ÙÙÙ Jumat, 20 Ramadan 1443 H/ 22 April 2022 M Ustadz Muâtashim Lc., Dewan konsultasi BimbinganIslam BIAS, alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Muâtashim Lc., ŰÙŰžÙ Ű§ÙÙÙ klik di sini Beliau adalah Alumni S1 Universitas Islam Madinah Syariah 2000 â 2005, S2 MEDIU Syariah 2010 â 2012 Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Syuâbah Takmili LIPIA, Syuâbah Lughoh Universitas Islam Madinah Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Taklim di beberapa Lembaga dan Masjid Read Next 3 days ago Alasan Ini Menjadikan Belajar Ilmu Duniawi Fardhu Khifayah 1 week ago Mempelajari Ilmu Duniawi, Fardhu Kifayah? 4 weeks ago Berhenti Kuliah, Dosa? April 20, 2023 Anda Lelah Berkerja? Jangan Mengeluh, Rutinkah Baca Ini! April 6, 2023 Apa Perbedaan Makna Fakir Dan Miskin? March 29, 2023 Diterima Kerja Karena Orang Dalam, Gajinya Halal? March 27, 2023 Hukum Memberikan Hadiah Dengan Syarat Tertentu March 22, 2023 Bagaimana Hukumnya Membantu Membuatkan Skripsi? March 15, 2023 Dilarang Memberikan Hadiah Untuk Pegawai! March 6, 2023 Hukum Menggambar Robot, Haram?